2 Pilot Cantik 'Penunggang' Jet Tempur



Menjadi pilot perempuan yang menerbangkan pesawat komersil mungkin sudah menjadi hal yang biasa di beberapa negara di dunia. Bagaimana dengan wanita 'penunggang' jet tempur?

Di 2 negara rawan konflik seperti Afghanistan dan Pakistan ini, 'lahirlah' 2 pilot cantik yang tak sungkan membunuh para musuh di medan perang.

Si cantik dari Afghanistan bernama Niloofar Rahmani, sementara hawa dari Pakistan dikenal dengan Ayesha Farooq.

Berikut kisah perjalanan para wanita penunggang kendaraan tempur tersebut, seperti dikutip Liputan6.com dari beberapa sumber, Sabtu (23/4/2016):


Rahmani lahir dan besar di Kabul, Afghanistan. Wanita cantik ini mendaftar di Angkatan Udara (AU) Afghanistan pada 2010.

Pilot cantik ini merahasiakan kegiatan militernya dari pihak keluarga.
Dua tahun setelah menempuh pendidikan, Rahmani menjadi penerbang perempuan pertama dalam sejarah Afghanistan. Dia juga menjadi pilot militer perempuan pertama sejak rezim Taliban terguling.

Lewat perjuangan yang keras, ia bahkan sempat mendapat penghargaan International Women of Courage Award dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat.

Dia juga mendapat julukan 'Top Gun dari Afghanistan' di media sosial. Julukan tersebut diambil dari film Top Gun yang dibintangi Tom Cruise pada 1986 yang bercerita tentang kehebatan pilot Angkatan Laut AS.

Perjalanan Rahmani menjadi pilot dilalui dengan cukup keras. Dia pun pernah menerima panggilan telepon dan surat ancaman dari Taliban agar berhenti menjadi pilot.

Ancaman semakin memburuk hingga pada 2013 dia terpaksa meninggalkan negaranya selama dua bulan. "Mereka mengancam akan menyakiti saya dan keluarga. Namun satu-satunya pilihan saya adalah menjadi kuat dan mengabaikan mereka," kata Rahmani sedih.
Rahmani adalah satu dari tiga perempuan Afghanistan yang telah dilatih untuk menjadi pilot jet tempur sejak 2010. Namun kabarnya salah satu dari mereka telah keluar dari AU Afghanistan.


Ayesha Farooq berhasil menjadi pilot jet tempur di Pakistan, bersama 19 perempuan yang mengabdi di Angkatan Udara di negaranya pada dekade terakhir. Ia juga dianggap layak terjun di medan perang.

Ayesha berasal dari Provinsi Punjab, tepatnya dari kota Bersejarah Bahawalpur. Hanya dia yang boleh maju bertempur dari kesatuannya.
Sebagai satu-satunya perempuan, Ayesha merasa tak ada perbedaan perlakuan dalam satuannya.

"Aku tak merasa ada perbedaan. Kami melakukan aktivitas dan tugas yang sama, menentukan presesi pemboman," katanya tentang para kolega prianya di pangkalan Mushaf di utara Pakistan, di mana hulu ledak tertumpuk rapi di bawah cuaca terik 50 derajat Celcius.

Dengan kerudung hijau zaitun yang mengintip dari helm terbangnya, Ayesha menyeringai saat ditanya, apakah ia merasa kesepian menjadi satu-satunya pilot perempuan yang akan terjun di medan perang.

Ayesha yang bertubuh ramping, beda dengan rekan-rekannya yang rata-rata kekar menceritakan, ia pernah berselisih sengit dengan ibunya, janda tak berpendidikan, saat ia mengutarakan ingin bergabung di Angkatan Udara.

"Dalam masyarakat kami, kebanyakan gadis tak akan berpikir melakukan hal-hal menantang seperti menerbangkan pesawat terbang."

Tak hanya dari keluarga dan lingkungan sosial yang patriakal. Ayesha juga harus menghadapi diskriminasi di AU. Di mana awalnya, pilot perempuan hanya ditugaskan menerbangkan pesawat yang terbang lambat, mengantar pasukan dan perbekalan. Bukan terjun di medan perang.

Sekarang ada sekitar 4.000 perempuan dalam angkatan bersenjata Pakistan, sebagian besar terbatas pada pekerjaan administrasi dan pekerjaan medis.

Tapi selama dekade terakhir, perempuan telah menjadi penerbang yang melindungi Pakistan dari langit, ada juga yang menjadi anggota pasukan elit antiteroris. Namun, seperti aturan yang dianut militer dunia, perempuan Pakistan masih dilarang terjun dalam pertempuran darat.











EmoticonEmoticon