Mari Kita Renungkan IPK TINGGI ??? Buat apa......


Saat yudisium tiba, tidak ada yang lebih penting buat mahasiswa selain nilai. Tiap mahasiswa pasti penasaran dengan indeks prestasi komulatif yang diperolehnya. Sangking penasarannya, banyak mahasiswa yang begadang sampai jam 00.00 supaya segera lihat nilainya. Gagal loading, coba lagi. Gagal lagi, coba lagi.
Perasaan senang hinggap kalau IPK agan cumlaude. Dengan gaya sok rendah hati yang dibuat-buat, agan akan memposting transkrip nilai di Medsos. Tapi kalau IPK agan jeblok, dengan nada tegar yang dibuat-buat kita akan nulis status “IPK bukan segalanya.” Atau, “Yang penting adalah proses mendapatkannya.”

Hak untuk bangga atau tidak terhadap IPK adalah hak setiap bangsa. Tapi, ada baiknya kalau agan coba merenungkan 15 pertanyaan ini :

1. Bagaimana IPK Dibuat?
 
Di dunia akademik, metedologi adalah hal penting yang tak boleh diabaikan. Dalam penelitian, misalnya, peneliti harus pertanggungjawabkan sumber dan analisis datanya. Dari mana data berasal? Bagaimana data itu diolah dan dianalisis?

Idealnya, pertanyaan serupa juga perlu diungkapkan terhadap IPK. Bagaimana dosen memunculkan angka antara 0 sampai 4 itu di kartu hasil studi agan?

Secara normatif, skala 0 sampai 4 pada IPK adalah akumulasi penilaian kuantitatif dari nilai tugas, nilai ujian tengah semester, dan ujian akhir semester. Ketiga komponen itu dijumlahkan dengan rasio bobot tertentu. Ada dosen yang membuat rasio 1:1:1, ada yang 1:2:3, ada juga yang 2:1:2

Tapi, apakah penghitungan itu dilakukan secara ketat? Hanya Tuhan dan dosen agan yang tahu.



2. Mengapa Universitas Perlu Membuat IPK?
 
Universitas menggunakan IPK sebagai alat ukur. Alat ukur biasanya menghasilkan angka atau tanda lain yang merepresentasikan sebuah kondisi. Angka atau tanda ini kemudian dibaca untuk mengetahui kondisi aktual. Dalam hal IP, kondisi yang ingin diketahui adalah perkembangan performa akademik mahasiswa.

Dengan IP, universitas bisa membuat kebijakan yang sesuai kebutuhan mahasiswa. Misalnya, mahasiswa ber-IPK rendah harus mengikuti pendalaman. Adapun mahasiswa IPK tinggi boleh mengikuti kuliah lanjutan.



3. Mengapa di Dunia Ini Harus Ada IPK?
 
Para pemikir positivistik zaman dulu percaya bahwa realitas hanyalah sesuatu yang dapat dilihat, diamati, diukur. Di luar sesuatu yang dilihat hanyalah takhayul, omong kosong, atau ilusi.

Keyakinan ini tampaknya diadopsi oleh para akademisi beraliran sama. Mereka hanya percaya sesuatu ada jika tampak, terlihat, dan terukur.

Mereka percaya kemampuan, pemahaman, dan penghayatan mahasiswa terhadap sebuah konsep juga harus terukur. Mereka baru percaya bahwa seseorang mampu, paham, atau menghayati jika ada indikatornya.

Keyakinan semacam inilah mendorong para dosen membuat alat ukur dengan berbagai alat tes. Dulu orang percaya soal pilihan ganda cukup akurat. Belakangan, orang yakin soal pilihan ganda adalah kekonyolan sehingga perlu ditinggalkan.

Untuk menggantikan itu, para dosen membuat alat ukur lain, misalnya ujian lisan, menulis makalah, atau portofolio.



4. Apakah IPK Cukup Akurat untuk Menilai Prestasi Mahasiswa?

Jika digunakan untuk mengukur aspek kognitif, tes-tes tertulis mungkin cukup memadai. Tapi, tes-tes semacam itu tidak bisa membaca aspek-aspek kemanusiaan lain, misalnya keyakinan, penghayatan, dan pengamalam. Padahal ketiga hal itu merupakan tujuan tertinggi pendidikan.

Ada sebuah kasus. Seorang guru agama Islam menggelar ujian lisan dengan meminta siswanya menghafal surat Al-Maa’uun. Siswa A mendapat nilai bagus karen hafal surat pendek itu. Tapi siswa B justru mendapat nilai jelek. Siswa B tidak hafal surat Al-Maa’uun, meskipun ia hafal surat Ali Imron.



5. Benarkah Orang Tua Kita Senang IPK Kita Tinggi?

Tiap orang tua berharap anaknya jadi orang baik – apa pun profesinya. Jika anaknya kuliah, tentu saja orang tua ingin anaknya jadi lebih cerdas dari sebelumnya.

Beberapa orang tua bangga anaknya ber-IP tinggi karena bisa dijadikan bahan obrolan di kantor. Beberapa orang tua senang anaknya cepat lulus supaya bisa dipamerkan dengan tetangga.

Tapi, ada juga orang tua yang tak ambil pusing dengan IPK anaknya. Mereka woles. Asal kamu bahagia, dia ikut bahagia juga; berapa pun IPK-mu.

 6. Jika IPK Agan Rendah, Apakah Berarti Agan Bodoh?

Masih ingat pidato sis Erica Goldson saat pidato kelulusan? Lulusan terbaik itu menyinggung satu hal penting.

“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.”

Erica percaya, untuk dapat nilai bagus mahasiswa hanya harus melakukan hal yang sangat sederhana: turuti dosen. Kalau bisa, beri lebih dari yang mereka minta. Dosen suruh buat satu makalah, buatlah 3 makalah. Dosen minta Anda presentasi, berkhutbahlah! Dosen minta Anda rajin kuliah, berangkatlah ke kampus sebelum Shubuh.

Tapi, itu pilihan yang punya risiko juga. Jika agan terlalu sibuk menuruti keinginan dosen, agan justru tidak sempat menuruti keinginan agan sendiri.

Saat mahasiswa lain naik gunung, agan di kos kerjakan laporan praktikum. Saat teman agan rafting di Serayu, agan justru buat paper. Sementara teman agan pergi ke bioskop sama pacar, agan malah antri di servisan komputer gara-gara laptop agan njebluk!



7. Apakah IPK Berpengaruh Terhadap Masa Depan Saya?

Tergantung agan ingin jadi apa kelak. Kalau mau jadi karyawan, tentu perlu IPK bagus supaya bisa ikut rekrutmen. Tapi kalau pengin jadi pengusaha, yang lebih agan perlukan adalah kecapakan berinovasi dan mental baja.

Kalau agan pengin jadi pengacara dan buka firma hukum sendiri, IPK tinggi juga tidak mutlak diperlukan. Yang lebih agan perlukan adalah kecakapaan analisis.

Kalau agan pengin jadi seniman, berkreasilah. Buatlah sesuatu yang bisa dinikmati banyak orang.



8. Benarkah Perusahaan Suka Karyawan Ber-IPK Tinggi?

Beberapa perusahaan membuat syarat ketat saat rekrutmen. Biasanya mereka hanya mengizinkan sarjana dengan IPK di atas 2,75 untuk ikut seleksi.

Sikap perusahaan ini, menurut beberapa analisis bukan strategi merekrut mahasiswa cerdas. Mereka hanya sedang menghindari merekrut karyawan malas.

Sebab, IPK 2,75 itu standar. Itu bisa diperoleh dengan cara-cara standar. Berangkat kuliah, presensi, nulis makalah, lalu ikut ujian. Jika IPK agan di bawah itu, ada kemungkinan agan malas. Itu saja.



9. Apakah IPK Membantu Kita Memperoleh Jodoh Idaman?
 
Menurut analisis psikologi sosial Prof Yamato Sukamesum, jumlah cowok yang tertarik dengan cewek karena kecerdasannya tidak lebih banyak daripada jumlah cowok yang tertarik dengan cewek karena fisiknya.

Kalau agan tidak percaya, perhatianlah saat cowok ngobrol dengan cewek yang baru dikenalnya. Dia memang berlagak memperhatikan pembicaraan, tapi percayalah, pandangan matanya akan “luber” ke mana-mana.

Begitu pula buat cowok nih. Cewek tidak tertarik dengan cowok pintar (apalagi sok pintar!). Lebih banyak perempuan justru tertarik dengan laki-laki yang membuatnya nyaman.

Agan bisa lihat sendiri di sekolah. Populasi jomblo lebih banyak diisi oleh pecinta karya ilmiah. Cowok yang bisa masukan bola ke keranjang setinggi 3 meter justru sering gonta-ganti pacar kan?



10. Apakah Calon Mertua Menanyakan IPK Saat Lamaran?

Tentu saja iya (jika calon mertua agan adalah dosen pembimbing skripsi agan di kampus). Bukan cuma tanya IPK, dia bahkan akan tanya kenapa rasio sampel dan populasi tidak representatif. Dia akan tanya bagaimana data A dan B ditriangulasikan.

Tapi kalau calon mertua agan adalah dai, dia tidak akan tanya IPK. Dia cuma akan memintamu shalat yang rajin.



11. Apakah IPK Tinggi Bisa Diagungkan ke Bank?
 
Tidak! Bank tidak peduli dengan kepintaran orang di sekolah. Bank lebih peduli pada kepintaran orang menghasilkan uang.

Ini memang fakta yang kej(i)am. Tapi memang begitulah cara bank bekerja.

Mereka bisa memberi kredit 5 miliar pada juragan tanah lulusan SD, tapi susah sekali memberi kredit pada lulusan cum laude untuk sekadar buka usaha.



12. Berapa IPK yang Diperlukan Agar Bisa Jadi Presiden?
 
IPK Joko Widodo saat kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada hanya 3,05. Tapi dia jadi presiden negara terbesar keempat di dunia.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama lulus dari Jurusan Ilmu Politik Columbia University, tapi tanpa penghargaan. Konon dia bisa diterima di Harvard Law School karena politik afirmasi ras. Selain itu, saat itu karirnya sedang bersinar sebagai tokoh politik berhaluan liberal.

Tersebar guyon, sarjana dengan nilai A atau cocoknya jadi dosen, peneliti, atau ilmuwan. Kalau nilanya B cocok jadi karyawan atau PNS. Kalau nilainya C cocok jadi pengusaha. Kalau C atau D, cocoknya jadi politisi.

13. Jika Ditanya, Apa yang Dibawa Mati? Nilai IPK Atau Proses Mendapatkan IPK?
 
Sebagai orang yang beriman, tentu kita sudah tahu jawabannya.



14. Apakah Soekarno Pernah Nyontek Supaya Dapat IPK Bagus?
 
Saat sekolah Teknik di Bandung, dia pernah bekerja sama dengan mahasiswa lain saat ujian. Dan dia menyebut perbuatan itu sebagai “gotong royong”. Tidak percaya? Bacalah buku Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adam.
 
15. Pertanyaan Terpenting: Lalu Kapan Kampus Akan Berhenti Memproduksi IPK?
 
Segera. Tidak lama lagi orang tidak percaya lagi dengan penilaian kuantitatif. Masyarakat ingin penilaian akademik yang lebih otentik. Saat itulah kampus akan berhenti memproduki angka-angka. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


Sumber : klik disini 

3 komentar

http://m.kaskus.co.id/thread/5720b8e92e04c8665f8b4567

informasi yang sangat bermanfaat jadi ip aku harus berapa aku ingin masuk sastra inggris
salam dari miablog

salam kembali dari JembatanCyber


EmoticonEmoticon